Gambut merupakan lahan basah yang terbentuk dari materi organik yang mengendap selama ribuan tahun. Lahan gambut memiliki peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim karena lahan gambut merupakan cadangan karbon dunia yang tersimpan di tanah. Selain menyimpan karbon yang besar, lahan gambut merupakan lahan yang banyak menyediakan manfaat karena lahannya subur.
Berdasarkan tingkat kematangan gambut dapat dibedakan menjadi 3 yaitu;
(1) Gambut fibrik adalah lahan gambut yang masih tergolong mentah, kandungan bahan-bahan jaringan tanaman yang tinggi atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinya memiliki diameter antara 0,15 cm — 2,00 cm. Pada tipe ini perombakan yang dilakukan oleh mikro ogranisme masih sangat lambat sehingga masih tergolong miskin hara atau tidak subur.
(2) Gambut hemik adalah lahan gambut yang sudah mengalami perombakan dan sifatnya separuh matang karena sudah banyak terjadi perombakan sisa-sisa tumbuhan oleh mikro organisme sehingga tipe ini masuk ke dalam kesuburan sedang.
(3) Gambut saprik adalah lahan gambut yang sudah mengalami perombakan lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang, perombakan yang dilakukan oleh mikroorganisme sudah hampir sempurna sampai sempurna sehingga tipe ini masuk ke dalam tipe subur dengan kandungan hara yang tinggi.
Lahan gambut di wilayah tropis merupakan lahan gambut yang menyimpan karbon paling banyak. Bahkan 68% lahan gambut tropis ditemukan di Asia Tenggara. Indonesia memiliki gambut tropis terbesar di dunia, yaitu sebesar 14,9 juta hektar. Lahan gambut memberikan manfaat dan fungsi bagi masyarakat untuk ketahanan lingkungan berupa ekologi, ekonomi dan sosial. Ketiga komponen ketahanan lingkungan ini dapat diwujudkan dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelestariannya. Di Indonesia, banyak masyarakat yang bergantung pada lahan gambut untuk kehidupan mereka. Namun, belakangan ini lahan gambut sering mengalami kebakaran.
Pada 19 Februari 2021 di kawasan wisata Danau Toba, terjadi kebakaran lahan gambut yang diperkirakan mencapai 20 hektar. Sedangkan di Kabupaten Musi Banyuasin memiliki lahan gambut seluas 250 ribu hektar yang pernah mengalami kebakaran dan sekarang sedang dilakukan restorasi.
Keberadaan gambut sangat penting, sehingga disebut sebagai harta karun. Karena ketika gambut terbakar, maka gas karbon dioksida dan gas-gas lain akan terlepas ke atmosfer dan akan menyebabkan perubahan iklim serta berbagai masalah kesehatan. Gambut seringkali dilirik untuk energi, katanya gambut menyimpan energi 5000–6000 kilo kalori per kilogramnya, tapi kalau hal itu dilakukan akan sama saja menghabiskan stok karbon pada gambut. Selain itu, perekonomian masyarakat yang bergantung kepada lahan gambut pun akan menurun. Ketika gambut terbakar, lahan ini akan susah untuk dipadamkan. Kenapa?
Hal tersebut karena api yang berada di permukaan bisa menyebar hingga lapisan dalam sejauh 4 meter. Sehingga, walaupun api di permukaan sudah padan, bukan berarti lapisan dalam gambut juga padam. Api bisa bertahan selama berbulan-bulan dan menjalar ke tempat lain. Sehingga tidak mudah untuk merestorasi lahan gambut karena restorasi lahan gambut bisa lebih dari 4 tahun lamanya. Lebih lanjut, laju pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan mengakibatkan lahan gambut dikonversi menjadi lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maraknya pembakaran lahan gambut untuk penanaman monokultur sawit. Memang, dengan menanam sawit dapat mengembalikan karbon tanah yang hilang ke atmosfer, tapi hanya sepertiga. Selain itu, konversi lahan yang terjadi membawa lahan gambut tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya karena dapat menurunkan ketahanan lingkungan.
Menurut PP Nomor 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut bahwa ekosistem lahan gambut mempunyai fungsi lindung dan fungsi budidaya. Lahan gambut dengan kedalaman di atas 3 (tiga) meter masuk ke dalam kategori lindung. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk melakukan pembukaan tutupan lahan dan membuat drainase. Aktivitas pembukaan, pembersihan lahan dan pembuatan drainase (saluran) menyebabkan terjadinya perubahan tata air. Hal demikian memiliki pengaruh terhadap terjadinya tingkat kesuburan lahan gambut, penurunan muka tanah dan kering tidak balik.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus berusaha lebih keras untuk melestarikan gambut. Untungnya, semakin banyak masyarakat yang mengerti betapa pentingnya gambut. Bahkan pada tahun 2016, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut dan menjanjikan di tahun 2030 emisi akan berkurang sebanyak 29%. Selain itu, Gubernur Sumatera Selatan (Herman Deru) berencana memasukkan kurikulum muatan lokal tentang lahan gambut di tingkat SD-SMP.
Referensi:
(1) Sukandarrumidi. (2008). Batubara dan Gambut. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
(2) Suwondo., Sabiham, S., Sumardjo & Bambang, Paramudya. (2010). Analisis Lingkungan Biofisik Lahan Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Hidrolitan, Vol. 1 no. 3, hh. 20–28
(3) Visual Interaktif Kompas. https://vik.kompas.com/gambut/